Oleh : Heintje Mandagie
Ketua Umum DPP SPRI
Ketua Umum LSP Pers Indonesia
Isu utama :
(1) kewenangan Dewan Pers sebagai lembaga independen versus kewenangan pemerintah daerah,
(2) potensi pelanggaran terhadap UU Administrasi Pemerintahan (UU AP).
- Analisis Posisi Hukum Dewan Pers dan Kewenangan Pemerintah Daerah
· Dewan Pers sebagai Lembaga Independen: Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa Dewan Pers adalah lembaga independen. Fungsinya antara lain melindungi kemerdekaan pers, menetapkan dan mengawasi Kode Etik Jurnalistik, serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
· Sertifikasi Media dan Uji Kompetensi Wartawan :
Dewan Pers memang memiliki program Sertifikasi Dewan Pers untuk perusahaan media dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Namun, sifatnya adalah voluntary (sukarela) dan non-legislatif.
Sertifikasi ini lebih bertujuan untuk penjaminan mutu dan etika di internal dunia pers, bukan sebagai syarat administratif yang diberlakukan oleh pemerintah.
· Kewenangan Pemda Membuat Kebijakan Kerja Sama:
Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan dan prosedur dalam pengadaan barang/jasa, termasuk kerja sama dengan media (misalnya untuk publikasi atau iklan layanan masyarakat).
Namun, kewenangan ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan harus berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
- Potensi Pelanggaran terhadap UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP)
Kebijakan Pemda yang mewajibkan sertifikasi Dewan Pers dan UKW sebagai syarat mutlak untuk kerja sama sangat berpotensi melanggar UU AP, terutama pada asas-asas berikut:
· Pasal 5: Asas Kepastian Hukum.
Kebijakan harus menciptakan kepastian dan tidak boleh menimbulkan multitafsir yang merugikan. Memaksa penggunaan instrumen lembaga independen sebagai syarat administratif dapat menimbulkan ketidakpastian karena di luar kendali langsung pemda.
· Pasal 6: Asas Keterbukaan.
Pemda harus terbuka tentang dasar hukum dan pertimbangan obyektif mensyaratkan sertifikat dari lembaga non-pemerintah.
· Pasal 7: Asas Proporsionalitas.
Syarat yang ditetapkan harus sebanding dengan tujuannya. Apakah tujuan kerjasama (misalnya publikasi) hanya dapat dicapai oleh media yang sudah bersertifikat? Bisa jadi ini tidak proporsional dan mengecualikan media-media kecil atau lokal yang belum bersertifikat namun profesional.
· Pasal 8: Asas Profesionalitas.
Keputusan harus didasarkan pada keahlian yang relevan. Keahlian Dewan Pers adalah di bidang etika dan mutu jurnalistik, bukan sebagai lembaga pemberi izin atau rekomendasi untuk transaksi pemerintah.
· Pasal 9: Asas Akuntabilitas.
Pemda harus bertanggung jawab atas kebijakan ini. Jika kebijakan ini menghambat persaingan sehat atau dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap kemerdekaan pers, maka akuntabilitasnya dipertanyakan.
· Pasal 10: Asas Efisiensi.
Kebijakan tidak boleh memberatkan. Menambah syarat yang bersifat eksternal dan sukarela dapat dianggap memberatkan dan tidak efisien.
Pelanggaran Utama pada Kerjasama Media
Pelanggaran utama kemungkinan besar terletak pada Asas Proporsionalitas (Pasal 7) dan Asas Kepastian Hukum (Pasal 5), karena Pemda menggunakan kriteria dari lembaga independen sebagai alat seleksi administratif yang mungkin tidak relevan secara langsung dengan obyek kerjasama.
- Pasal UU AP yang Tepat untuk Dijadikan Dasar Gugatan
Kebijakan Pemda tersebut dapat digugat, pasal kunci dalam UU AP yang dapat digunakan adalah:
· Pasal 53 ayat (2) huruf b:
Salah satu alasan untuk mengajukan Upaya Administratif (Banding) adalah karena Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak mempertimbangkan kepentingan yang wajar dari orang yang dikenai keputusan atau pihak ketiga yang berkepentingan.
· Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 87 ayat (2): Mengatur tentang Keputusan yang Bertentangan dengan Hukum. Sebuah keputusan (termasuk kebijakan berupa peraturan Kepala Daerah) dapat dibatalkan karena:
· Huruf a: Tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 (syarat substansi yang meliputi kewenangan, tujuan, dan substansi keputusan). Kebijakan yang mensyaratkan sertifikat lembaga independen dapat dianggap melampaui tujuan yang wajar (tujuan yang tidak tepat).
· Huruf b: Melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15.
Inilah intinya. Kebijakan Pemda tersebut dapat dibatalkan karena dianggap melanggar beberapa asas sekaligus, terutama Asas Proporsionalitas (Pasal 7).
Mensyaratkan sertifikat dari lembaga non-pemerintah sebagai keharusan bisa dinilai tidak proporsional dan tidak relevan.
Kesimpulan dan Saran
- Potensi Pelanggaran :
Kebijakan Pemda yang mewajibkan sertifikat Dewan Pers dan UKW sebagai syarat mutlak untuk kerjasama media berpotensi kuat melanggar UU Administrasi Pemerintahan, khususnya Asas Proporsionalitas (Pasal 7 UU AP). - Pasal yang Dilanggar :
Pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 UU AP. Pelanggaran ini dapat menjadi dasar untuk membatalkan kebijakan tersebut berdasarkan Pasal 87 ayat (2) huruf b UU AP. - Langkah Hukum yang Diambil: · Upaya Administratif:
Media atau pihak yang dirugikan dapat mengajukan Banding kepada atasan Pejabat Pembuat Kebijakan (misalnya Gubernur jika dibuat oleh Bupati/Walikota) berdasarkan Pasal 53 UU AP. · Gugatan ke PTUN:
Jika upaya administratif tidak berhasil, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membatalkan kebijakan tersebut dengan dasar Pasal 87 UU AP. · Uji Materiil:
Dapat juga diajukan pengujian peraturan daerah (perbup/perwal) tersebut ke Mahkamah Agung, karena diduga bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (UU Pers dan UU AP).
Saran:
Pemda seharusnya menggunakan kriteria yang lebih obyektif, relevan, dan langsung terkait dengan tujuan kerjasama, seperti pengalaman, portofolio, rencana kerja, dan harga, alih-alih menjadikan sertifikasi dari lembaga independen sebagai “pintu gerbang” yang wajib. Hal ini sesuai dengan semangat UU AP untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan proporsional.
Sertifikasi Wartawan di BNSP
Penolakan Pemda terhadap sertifikat kompetensi wartawan yang diterbitkan oleh LSP Pers Indonesia (di bawah koordinasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi/BNSP) justru menunjukkan kesalahan yang lebih fundamental dan pelanggaran yang lebih nyata terhadap peraturan perundang-undangan.
Berikut analisis detail mengapa hal itu bermasalah:
- Posisi Hukum LSP Pers Indonesia & BNSP Sangat Kuat
· BNSP adalah Lembaga Negara Resmi: BNSP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 18). Tugasnya adalah melakukan sertifikasi kompetensi kerja nasional. Sertifikat yang dikeluarkan oleh BNSP atau Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang diakui olehnya memiliki keabsahan hukum nasional.
· LSP Pers Indonesia adalah Lembaga Sah: LSP Pers Indonesia adalah LSP khusus untuk profesi wartawan/jurnalis yang diakreditasi dan mendapat lisensi dari BNSP. Ini berarti proses dan standar sertifikasinya telah memenuhi kriteria nasional yang ditetapkan pemerintah.
· Sifatnya Wajib di Sektor Tertentu (De Jure/De Facto): Berbeda dengan sertifikasi Dewan Pers yang bersifat sukarela, sertifikasi BNSP seringkali menjadi persyaratan regulatori atau kerangka hukum (SKKNI).
Dalam banyak profesi, sertifikat BNSP diakui sebagai bukti kompetensi yang sah di mata hukum.
- Dampak Hukum dari Penolakan Pemda
Dengan menolak sertifikat BNSP, Pemda melakukan pelanggaran yang lebih serius karena:
· Merendahkan Kewenangan Lembaga Negara (BNSP): Pemda, secara tidak langsung, menyatakan bahwa standar dan kewenangan lembaga negara (BNSP) tidak berlaku di wilayahnya. Ini adalah bentuk inkonsistensi regulasi dan ego sektoral yang parah.
· Bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan: UU No. 13/2003 mengakui sertifikasi kompetensi. Kebijakan Pemda yang menolaknya dapat dianggap menghambat pengakuan kompetensi kerja nasional, yang bertentangan dengan semangat UU tersebut.
· Melanggar Asas-Asas UU AP dengan Lebih Nyata:
· Asas Kepastian Hukum (Pasal 5 UU AP): Menciptakan ketidakpastian yang sangat besar.
Jika sertifikat nasional saja tidak diakui, lalu standar apa yang pasti?
· Asas Proporsionalitas (Pasal 7 UU AP): Sangat tidak proporsional dan irasional menolak bukti kompetensi yang justru dikeluarkan oleh lembaga resmi negara. Tindakan ini tidak memiliki hubungan yang logis dan wajar dengan tujuan kebijakan.
· Asas Profesionalitas (Pasal 8 UU AP): Pemda terlihat tidak profesional karena tidak mengakui standar kompetensi nasional yang justru lebih terukur dan objektif.
· Asas Efisiensi (Pasal 10 UU AP): Memaksa wartawan memiliki dua sertifikat (BNSP dan mungkin syarat lain) adalah pemborosan dan sangat tidak efisien.
- Pasal-Pasal UU AP yang Jelas Dilanggar
Penolakan ini memberikan dasar gugatan yang sangat kuat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan Pasal 87 UU AP tentang Keputusan yang Bertentangan dengan Hukum:
· Pasal 87 ayat (2) huruf a: Keputusan/kebijakan Pemda tidak memenuhi syarat substansi (Pasal 20), khususnya tidak memiliki tujuan yang tepat. Tujuannya seharusnya memastikan kompetensi, tetapi justru menolak instrumen penilaian kompetensi yang sah secara hukum.
· Pasal 87 ayat (2) huruf b: Melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Pelanggaran terhadap Asas Proporsionalitas (Pasal 7) dan Asas Kepastian Hukum (Pasal 5) dalam kasus ini sangat jelas (flagran).
Kesimpulan dan Langkah Hukum yang Disarankan
- Ini Lebih Bermasalah: Menolak sertifikat BNSP/LSP Pers adalah kesalahan yang lebih fatal bagi Pemda daripada mensyaratkan sertifikat Dewan Pers. Pemda telah bertindak melawan hukum (onrechtmatig) dengan mengabaikan pengakuan kompetensi oleh lembaga negara sendiri.
- Posisi Hukum Pihak yang Dirugikan Sangat Kuat: Wartawan di perusahaan media yang memegang sertifikat BNSP memiliki dasar hukum yang kokoh untuk menggugat.
- Langkah yang Dapat Diambil: · Gugatan ke PTUN: Ini adalah langkah paling tepat. Ajukan gugatan agar kebijakan Pemda yang menolak sertifikat BNSP dibatalkan karena bertentangan dengan hukum (Pasal 87 UU AP) dan menyebabkan kerugian. Dasar Gugatan :
Tegaskan bahwa kebijakan Pemda: · Tidak memiliki dasar hukum yang sah karena mengabaikan sertifikasi kompetensi nasional yang diatur UU. · Melanggar Asas Proporsionalitas dan Kepastian Hukum. · Menghambat hak untuk diakui kompetensinya sesuai dengan kerangka hukum nasional.
Melaporkan ke BNSP:
Laporkan praktik Pemda ini ke BNSP pusat. BNSP memiliki kepentingan untuk menjaga kredibilitas dan pengakuan atas sertifikat yang dikeluarkannya di seluruh Indonesia.
Advokasi ke Ombudsman:
Laporkan sebagai Maladministrasi karena kebijakan Pemda tidak logis, berbelit-belit, dan menimbulkan ketidakadilan.
Intinya: Pemda tidak berwenang untuk “mendenasionalisasi” sebuah sertifikasi kompetensi yang justru dikeluarkan oleh skema nasional yang diatur undang-undang. Penolakan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) karena menggunakan kewenangan untuk tujuan yang tidak semestinya, yaitu menciptakan hambatan yang tidak legal dan tidak logis.***







