DITENGAH heboh dan kisruh distribusi gas elpiji subsidi 3 kg, saya dikirimi link berita. Presiden Prabowo Subianto menerima Jusuf Kalla (JK). Membahas kebijakan subsidi elpiji yang stagnan selama 20 tahun. Tak cuma itu, JK juga memberi masukan soal serap gabah, pengelolaan ketahanan pangan dan revolusi hijau.
Saya membaca sekilas. Pun materinya sudah banyak dimuat berbagai media. Saya lebih fokus lihat fotonya yang juga beredar di medsos, selasa (4/2/2025). Saya pun mengamati lebih detail siapa saja yang ada dalam tangkapan lensa duduk saling berhadapan di meja panjang.
Presiden Prabowo didampingi Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.
Sedangkan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 hanya ditemani seorang anak muda yang tak lain putranya. Namanya Solihin Kalla (SK). Belum lama ini namanya masuk dalam kepengurusan DPP Partai Golkar yang Ketumnya Bahlil Lahadalia. Sebagai Ketua Bidang Kewirausahaan.
Apa SK the next JK?
Banyak yang bertanya begitu. Saya tidak bisa menjawab. Namun bile menengok dalam beberapa momen dan kesempatan, SK selalu terlihat menyertai ayahnya. Mungkin ini semacam proses “magang” bagi SK yang memulai debutnya sebagai politisi.
Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu kata peribahasa yang menggambarkan jalan hidup seseorang yang mengikuti jejak orang tuanya. Tapi soal rasa, kadang buah itu tak selalu sama. Meski dari pohon yang sama.
Begitulah yang bisa saya gambarkan Ihin, begitu Solihin Kalla akrab disapa. Jalan hidupnya punya kemiripan dengan ayahnya. Sama-sama merintis karir sebagai pengusaha. Setelah sukses dan terjadi regenerasi di perusahaan lalu menjadi politisi.
Sebelumnya, anda pun sudah tahu. SK secara resmi telah mendeklarasikan diri mengikuti jejak ayahnya masuk ke arena politik dengan bergabung pada partai Golkar. Sejak itulah saya intens mengikuti perjalanan politik SK. Terakhir saya melihat SK mendampingi JK di HUT ke-57 KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) di Jakarta.
Pada masa awal kiprahnya di partai Golkar, saya melihat dan menangkap beberapa kesan terhadap SK.
Pertama, ia memiliki potensi dan talenta sebagai seorang politisi. Kedua, orangnya cukup memiliki etika dan sopan santun, terutama terhadap para senior yang juga adalah kawan ayahnya.
Ketiga, latarbelakangnya sebagai seorang pengusaha yang tak lagi memikirkan “dapur”nya membuat dirinya tampil sebagai sosok politisi yang betul-betul berpolitik sebagai ladang “pengabdian” dan gigih memperjuangkan kepentingan politiknya.
Mohon maaf, sebagaimana jamak kita tahu, banyak politisi yang terjun ke politik baru mau mencari sesuatu yang bernilai ekonomis. Saya melihat SK relatif sudah selesai dengan urusan domestik dirinya.
Selain itu, SK juga memiliki dasar pendidikan yang mumpuni dan melewati proses jenjang tahapan kaderisasi internal Golkar. Hal itu membuat dirinya makin matang dalam berpolitik. Terbukti ia bukan kader karbitan, instan atau orang yang ujuk-ujuk muncul tanpa proses berjenjang.
Dalam berpolitik, saya melihat SK boleh dikata seorang politisi yang cenderung “rendah hati” dan mudah bergaul. Mengapa? Hal itu terlihat dari sikapnya yang ikhlas, luwes dan fleksibel sehingga ia memiliki banyak jaringan pertemanan di berbagai tempat dan daerah.
Kembali ke soal “The Next JK” yang banyak dikaitkan dengan sosok SK, saya menganggap sesuatu yang sifatnya aspirasi dan keinginan. Dan itu sah-sah saja. Apalagi kalau mau jujur, memang banyak “kemiripan” antara keduanya: JK dan SK.
Meski begitu, seiring perjalanan waktu, saya yakin SK punya preferensi sendiri dan tak ingin selalu dibawah bayang ayahnya.(Rusman Madjulekka).